Kearifan Lokal

Wujud kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat pada suatu daerah atau komunitas dapat berwujud suatu perkataan (pesan dan nasehat), tindakan (perbuatan dan perilaku), tulisan, dan benda buatan manusia. Yuga (2010) telah mengemukakan beberapa ungkapan kearifan lokal berbagai etnis di Indonesia, salah satu diantaranya adalah ungkapan pada etnis atau suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Selatan, yaitu: (1) etnis Makassar yang menyatakan a’bulo sibatang paki antu mareso tamattapu nanampa nia sannang ni pusakai (Bambu sebatang semua kita bekerja tak putus-putus kemudian senang dimiliki), yang bermakna “bekerja dengan jujur dan bersatu akan menghasilkan pekerjaan yang tak henti-hentinya memberi kesenangan dan keberuntungan”; (2) etnis Bugis yang menyatakan rebba sipatokkong, mali siparappe, siruik mengre’ tessiruik nok, malilu sipakaingek, maingekpi napaja (rebah saling menegakkan, hanyut saling menyelamatkan, tarik menarik ke atas bukan menarik ke bawah, khilaf saling mengingatkan sampai sadar) yang bermakna “kearifan untuk menjaga nilai solidaritas dalam kehidupan masyarakat”; (3) etnis Mandar yang menyatakan matindoi ada naula landur to situru (adat sebagai jalur pemersatu); dan (4) etnis Toraja yang menyatakan baliqbiqna dikatakuq ingkokna dikalallang (ekornya ditakuti, ujungnya/kepalanya dikhawatirkan), yang bermakna nilai pembinaan moral atau etika dari suatu kelompok masyarakat kepada perseorangan tentang baik buruk.
Kearifan lokal dalam bentuk perbuatan atau perilaku diungkapkan oleh Naing, dkk. (2009) dan Rais (2010). Naing mengungkapkan mengenai kearifan lokal dalam sistem bermukim mengapung yang terdapat di danau Tempe yang berimplikasi terhadap kreativitas masyarakat dalam membangun hunian yang nyaman dan fungsional, serta adaptif terhadap iklim yang cenderung ekstrim di atas air. Sedangkan Rais mengungkapkan tentang pelaksanaan acara perkawinan masyarakat Kokoda-Papua yang memperlihatkan terjadinya inklusifitas praktik keagamaan. Kearifan lokal dalam bentuk tertulis diungkapkan oleh Istanti (2007) mengenai teks Amir Hamzah dalam wujud kearifan lokal teks: Amir Hamzah Melayu, Amir Hamzah Jawa, Amir Hamzah Sunda, dan Amir Hamzah Bugis-Makassar. Kearifan lokal dalam bentuk media warisan diungkapkan oleh Mahmud (2010) mengenai seni tradisional yang menggunakan media warisan, seperti: sinrilik, pakkacaping, ma’badong, elong pelong, tudang sipulung, mappadendang, pappaseng, wayang purwa, wayang golek, ludruk, ketoprak atau bentuk media warisan lainnya yang masih dapat ditemukan di Indonesia.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, salah satu kearifan lokal adalah ungkapan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang bermakna fungsi pendidik sebagai teladan, dinamisator, dan motivator (Suryadi, 2009: 57). Ungkapan ini sejalan dengan ungkapan yang ada pada etnis Bugis mengatakan “Rioloi Napatiroang, Ritengngai Naparaga-raga, Rimonrii Napaampiri” yang dapat diartikan: ia menjadi teladan jika berada di depan kita, ia akan menjadi dinamisator jika berada ditengah bersama kita, ia menjadi motivator jika ia berada di belakang kita.
Kearifan lokal memiliki banyak fungsi, seperti yang telah dikemukan oleh Sartini (2004: 113), yaitu: (1) berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) berfungsi untuk pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia; (3) berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan; (5) bermakna sosial, misalnya pada upacara integrasi komunal/kerabat dan upacara daur pertanian; (6) bermakna etika dan moral; serta (7) bermakna politik.


Www.wujud-dan-fungsi-kearifan-lokal.pendidikan mahir.com

Komentar